Kamis, 24 Juli 2008

Politisasi Dramaturgi

Sahabat magnificent kali ini kita akan belajar tentang salah satu teknik komunikasi persuasif, yaitu dramaturgi. Dramaturgi merupakan seni bagaimana orang menempatkan peran sesuai dengan situasi dan kondisi dimana dia ditempatkan. Istilah dramaturgi dikenal sejak zaman Aristoteles. Pernahkah sahabat magnificent memasang muka simpatik dan bersedih ketika dalam pemakaman seseorang, padahal pada saat yang sama anda sebenarnya sedang bergembira karena sesuatu yang lain, tapi di karenakan tekanan lingkungan yang ada mengharuskan anda untuk ikut bersedih. Bila anda pernah ada dalam situasi seperti itu tidak usah khawatir itu normal. Sebab seorang psikolog bernama Kurt Lewin (1935, 1936) berkata dalam penjelasan teori medannya bahwa sesungguhnya perilaku manusia tergantung pada lingkungannya. Jadi tidak salah kalau seseorang bermain peran menempatkan peran yang bukan dirinya, karena semata-mata bukan karena terpaksa namun itu merupakan reaksi alamiah terhadap lingkungan sekitarnya.

Satu contoh kasus dramaturgi adalah bagaimana terdakwa kasus korupsi yang sedang gencar beritanya adalah Arthalyta Suryani. Kita bsia melihat di sana bagaimana seorang Arthalyta atau yang dikenal sebagai Ayin mencoba menarik simpati hakim dan pengunjung. Dimulai dari bagi-bagi makanan, menjelaskan bahwa dirinya seorang janda, sampai menangis. Semua itu merupakan semata-mata proses dramaturgi yang harus dia lakukan agar dapat simpati keringanan hukuman.

Satu pertanyaan mengapa sih manusia harus bermain dramaturgi? Satu jawaban yang pasti adalah dramaturgi merupakan suatu bentuk rekasi alamiah dari manusia untuk mempertahankan diri. Ketika seorang manusia berada di sebuah lingkungan yang menurut dia nyaman, atau ketika dia ingin memasuki sebuah lingkungan baru, adalah sebuah proses yang wajar bila dalam dirinya timbul proses tidak ingin ditolak atau tidak ingin kehilangan kenyamanan tersebut. Nah agar dirinya tidak mengalami penolakan maka mau tidak mau dia harus melakukan dramaturgi dalam mempersuasi dirinya agar bisa diterima oleh lingkungannya.

Satu contoh lain penerapan darmaturgi dalam praktik komunikasi massa atau strategi kampanye, kita bisa lihat pada pemilihan presiden kita yang lalu. SBY dan Megawati merupakan salah satu contoh bentuk kampanye dramaturgi yang berhasil. Sosok Megawati dalam membawa partainya PDI-P menuju tangga puncak pemenang pemilu 1999 tidak lepas dari isu yang dihembuskan bahwa dirinya adalah pihak yang ”dizhalimi” oleh rezim Orba. Simpati pun di dapat karena memang masyarakat pada waktu itu memang sedang euphoria ”kebencian” terhadap rezim Orba. Begitu juga SBY dimana dia dulu menempatkan posisinya sebagai orang yang terdzhalimi oleh rezim Megawati. Sehingga masyarakat pun merasa simpati dan terbukti dukungan yang mengalir tidak kalah banyak, serta mengantarkannya pada posisi RI-1.

Kesimpulannya yang bisa diambil adalah tidak masalah anda melakukan dramaturgi dengan niatan untuk di terima di lingkungan anda. Yang jadi masalah adalah apabila itu dilakukan secara berlebihan maka anda akan kehilangan jati diri anda. Sebab seekor hiu yang di taruh di dalam sebuah aquarium yang besar dan nyaman sekalipun, dia tetaplah hiu yang berasal dari lautan yang membutuhkan air laut yang asin untuk bertahan hidup.

1 komentar:

Daviq Umar Al Faruq mengatakan...

izin nyomot buat presentasi besok gan